image05 image06 image07

Feature Label Area

Minggu, 02 Desember 2012

Tagged under:

Nama Batak Bukan dari Kebudayaan Batak

batak, suku batak, adat batak, nama batak, seni batak, ulos batak, tongkat batak, rumah batak
Nama Batak Bukan dari Kebudayaan Batak. Nama Batak sebagai identitas etnik ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi para musafir barat. Hal ini kemudian dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Simpulan ini dikemukakan sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari yang baru usai melakukan penelitian di Jerman.

Di Jerman, sejarahwan bergelar doktor ini memeriksa arsip-arsip yang ada di Wuppertal, Jerman. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha, atau tulisan tangan asli Batak, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, tetapi diciptakan dan diberikan dari luar.

"Kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke wilayah Pulau Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan," kata Ichwan Azhari di Medan, Minggu (14/11/2010).

Dalam penelitiannya yang dimulai sejak September lalu, selain memeriksa arsip-arsip di Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya dengan mendatangi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda. Dia juga mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.

Hasilnya, pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusurinya, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks itu disebut, "... masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu."

Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Untuk itu menurut Ichwan, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau
dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.

"Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu," katanya.

Disebutkan Ichwan, para misionaris itu sendiri awalnya ragu-ragu menggunakan kata Batak sebagai nama etnik, karena kata Batak tidak dikenal oleh orang Batak itu sendiri ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah Batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku.

Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu dokumen berisi informasi penting berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di tanah Batak sejak pertengahan abad ke-19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti
puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat.

"Peta-peta itu memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan kepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya," tukas Ichwan.

Dalam peta-peta kuno itu, kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.

Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata Batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata Batak itu.

Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman, kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatera Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan.

"Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan Nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Nama Batak juga digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam," tukasnya. 
Sumber: Detik News

Rabu, 21 Maret 2012

Tagged under:

Di Mesir, Tower BTS Berbentuk Pohon Kurma

Di Mesir, Tower BTS Berbentuk Pohon Kurma

Makin jauh kita berjalan, makin banyak yang dapat dilihat. Pribahasa itu ditujukan kepada para petualang yang suka traveling. Makin lengkap, jika seorang petualang yang suka menjelajah tempat-tempat menarik di berbagai negara, mencatat semua yang dilihatnya. Catatan itu akan bermanfaat jika ditulis dalam bentuk laporan pandangan mata.

Ini artinya, traveling bukan hanya aktivitas bersenang-senang, tetapi dapat menjadi sebuah proses studi banding. Hasil pengamatan tentang segala sesuatu yang sifatnya positif atau negatif dapat menginspirasi orang yang membacanya. Kelebihan dan kekurangan sebuah tempat dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki negeri masing-masing.

Salah satu hal paling menarik saat kompasianer berkunjung ke Mesir adalah keberadaan sebuah tower BTS berbentuk pohon kurma. Dari jauh, tower itu persis seperti pohon kurma ditengah padang pasir. Kompasianer sempat heran, kenapa ditanah yang begitu gersang tumbuh pohon kurma tunggal.
Kompasianer mencoba mendekat ke arah pohon kurma tinggi itu. Ternyata, setelah berada dalam jarak pandang, tegakan itu bukan pohon kurma melainkan sebuah tower BTS diantara perumahan warga. Kompasianer juga memandang ke arah lain, nampak dikejauhan juga berdiri sebuah pohon kurma tinggi yang menjulang ke angkasa.

Kawasan tempat berdirinya tower BTS berbentuk pohon kurma itu berada di Rehab City atau dikenal dengan nama New Cairo, sebuah kawasan pemukiman modern. Jika di dalam kota Cairo, masih banyak juga ditemukan tower BTS konvensional yang menjulang diantara apartemen warga. Bagaimana dengan tower BTS yang terdapat di tanah air?

Membandingkan dengan tower BTS yang terdapat di tanah air, jarang ditemukan tower yang disamarkan berbentuk pohon atau serupa tanaman. Kebanyakan tower yang terlihat berbentuk rangka baja yang menjulang ke angkasa. Umumnya, tower BTS itu dicat hitam putih yang berdiri diantara pemukiman penduduk. Warga tidak tahu, apa dampak yang bisa ditimbulkan akibat keberadaan tower ditengah pemukimannya.
Apabila dilihat dari ketinggian, seperti di kota tempat kompasianer bermukim, tower itu ibarat onggokan besi ditengah pemukiman. Kota yang indah dan hijau akan kehilangan panorama, jika disana-sini berdiri tower rangka baja. Pastinya, tower tersebut dapat “merusak” pemandangan. Memang, keberadaan tower BTS tersebut akan membantu proses komunikasi antar warga, tetapi warga juga butuh estetika.

Boleh jadi, jika Mesir menyamarkan tower BTS berbentuk pohon kurma sehingga yang melihatnya dari kejauhan seperti hutan pohon kurma. Begitu indah dan atistik. Kenapa tidak, di tanah air tower BTS milik operator seluler juga diganti dengan tower berbentuk pohon pinang atau pohon kelapa, tentu lebih artistik dengan alam Mesir yang gersang. Kota yang hijau dengan taman dan hutan kota terasa makin serasi jika tower BTS-nya berbentuh pohon atau palem.

Harapan warga memang seperti itu. Namun, tower itu adalah milik operator seluler atau mitra mereka yang dibangun dengan uang perusahaan. Warga hanya dapat melihat apa yang mereka bangun, tetapi tidak berdaya untuk mengoreksi apa yang mereka lakukan. Kalaupun mereka memiliki visi ramah lingkungan, tentu mereka akan berpikir untuk memodifikasi tower tersebut. Semoga!
Sumber : http://teknologi.kompasiana.com/internet/2012/03/22/di-mesir-tower-bts-berbentuk-pohon-kurma/ 

Jumat, 25 Maret 2011

Tagged under:

Horas Tano Batak

Horas Tano Batak
  • Horas horas tano batak
  • Horas horas bangsa batak
  • Rap hita marende
  • Horas horas tano batak
  • Horas horas bangsa batak
  • Unang hita lupa,bonani buluan
  • Unang hita lupa,bonani sappilpilan
  • Disi do bona pasogittai
  • Nang damang dainang na burju
  • Unang unang ala mamora
  • Lupa tano hatubuan na
  • Sotung sotung laos muruk
  • Oputta si jolo tubu
  • Nang hita dao di tano
  • Parjalangan Ikkon manaili, tutano hatubuan
  • Sotung gabe lilu ala
  • Dung mamora ,tarlobi mai gelengtai
  • Horas horas tano batak
  • Horas horas bata k
  • Rap hita marende
  • Horas
  • Rabu, 16 Maret 2011

    Tagged under:

    Dua Jenis Rumah Adat Dalam Huta Batak





    Ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta Batak, yaitu Ruma dan Sopo yang saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas (alaman) yang menjadi tempat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi.

    Selasa, 15 Maret 2011

    Tagged under:

    Lirik Lagu Borhat Ma Dainang

    Lagu Borhat Ma Dainang.Sebuah lagu Batak yang sangat menyentuh. Intinya bercerita tentang pesan orang tua (khususnya Ibu) yang berpisah dengan anak perempuannya yang pergi karena menikah.
    Terjemahannya nanti menyusul, karena ada beberapa kata yang kurang saya mengerti. Setidaknya saya masih orang Batak lho, walaupun penguasaan bahasanya hancur lebur :-) Arti judulnya : Pergilah Anakku Sayang
    Mau download lagunya ? Salah satunya disini. Isi diluar tanggung jawab percetakan. :-)